Minggu, 03 Juli 2011

ARSITEKTUR

Awalnya arsitektur berasal dari kata Yunani Arkitekton yang berarti mandor tukang tembok (Ensiklopedi Indonesia, 1;272) yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Arsitek, melalui bahasa Belanda untuk gelar seseorang yang melakukan perencanaan bangunan. Dari sumber yang sama ruang lingkup bidang arsitektur diungkapkan sebagai berikut :

Seni merencanakan bangunan bagi manusia yang bernaluri mencari keamanan dan kenyamanan diri demi kesejahteraan jiwa dan raganya, serta untuk memenuhi kepuasan diri mencipta suatu keindahan.

Pernyataan tersebut sangat dilandasi oleh pemikiran Marcus Vitruvius Pollio yaitu Firmitas, Utilitas dan Venustas, pada era arsitektur Renaissance. Paham ini kemudian disebut dengan Vitruvian.

Dalam perkembangan selanjutnya, arsitektur adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan buatan ‘built environment’. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa arsitek bukan hanya merancang gedung belaka, akan tetapi juga merencanakan lingkungan di luar gedung termasuk pengaruh dan dampak keruangan terhadap manusianya.

Hubungan antara manusia dan alam merupakan suatu fenomena permasalahan yang sudah lama dicari penyelesaian terbaiknya. Alam (nature) dalam hubungannya dengan kultur telah menjadi patokan tema yang stabil dari masa ke masa. Secara umum pergumulan manusia terhadap keadaan alam yang berbeda-beda karakternya pada setiap tempat yang berbeda menjadikan ide dasar dari suatu tema. Arsitektur dalam hubungannya dengan alam harus dapat menjadi tempat bernaung yang aman bagi manusia dari faktor-faktor alam yang terjadi di suatu tempat. Dari sini munculah teknologi yang dibuat manusia untuk beradaptasi salah satunya dalam berarsitektur.

Seringkali arsitek fokus pada bangunan sebagai suatu objek tunggal dan bukan objek yang berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut teori perkotaan, setiap bangunan dengan fungsi tertentu telah diatur sedemikian rupa untuk berdiri sesuai dengan konteksnya, hal tersebut berlaku pada monument sebagai bagian dari bangunan yang merupakan karya arsitektur.

Sebagai karya arsitektur, perkembangan monumen sama dengan bangunan-bangunan yang lainya, sampai sekarang pun monumen terus dibangun di banyak tempat dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kota. Namun penelitian tentang monumen masih terhitung jarang dilakukan apabila dibandingkan dengan penelitian tentang bangunan atau kelompok bangunan yang lain. Atas dasar itulah antara lain, penelitian ini dirancang.

Rapoport mengemukakan bahwa Sejak awal monumen adalah merupakan karya arsitektur yang termasuk ke dalam produk high culture atau grand architecture, yang diperlawankan dengan arsitektur vernakular sebagai produk folk architecture (arsitektur rakyat). (Barliana:2003)

Arsitektur vernakular merupakan transformasi dari situasi kultur homogen ke situasi yang lebih heterogen dan berusaha sebisa mungkin menghadirkan citra, bayang-bayang realitas arsitektur tradisional. Rasa hormat pada tradisi "agung" dan "tinggi" biasanya cukup nyata pada arsitektur vernakular. Citra yang disajikan lebih banyak bersandar pada referensi arsitektur "rakyat" daripada terhadap bangunan keagamaan, bangunan milik bangsawan-penguasa dan sejenisnya. Referensi pada arsitektur "rakyat" yang secara fungsional sudah beradaptasi, jitu, teruji terhadap alam tempatnya berada, biasanya lebih memiliki kepekaan baik secara teknis, sosial, dan kultural.

Pada perkembangan mutakhir, di mana heterogenitas kultur menjadi dominan, arsitektur tradisional mengalami lompatan melampaui proses vernakularisasi, dan muncul dalam wujud eklektik (campur aduk) wujud tradisional, tanpa perduli pada tatanan, hirarki makna, pengertian yang terkandung pada wujud "asli"-nya.

Sebagai poduk kebudayaan tinggi, monumen sering dibangun mengikuti dan dalam kerangka impressi kekuasaan elit atau patron, baik dalam pengertian sebenarnya kekuasaan "pemerintahan/ negara" maupun dalam pengertian "kekuasaan" kelompok (arsitek, misalnya).

Jika dirunut lebih jauh ke masa arsitektur asal mula atau arsitektur praperadaban, dikenal apa yang disebut menhir. Menhir, pada hakikatnya adalah monumen pertama yang dikenal orang, yang bisa sekedar berbentuk sebongkah batu atau tiang kayu monolit yang ditancapkan (Barliana:2003).

Secara intuitif, menhir digunakan sebagai pusat orientasi dan untuk menandai wilayah, lahan atau teritori suatu kelompok tertentu yang tidak boleh diganggu atau dimasuki oleh kelompok lain. Artinya, menhir pun memang sejak awal berkaitan dengan kekuasaan, yaitu sebagai penanda kekuasaan betapapun kecilnya wilayah kekuasaan itu.

Berkembang lebih jauh pada masa berikutnya, monumen menjadi bagian dari kosmologi, yaitu (Barliana :2003)

· menjadi axismundi (poros dunia), menjadi pusat orientasi dan poros perantara antara mikrokosmos dan makrokosmos;

· menjadi simbol kekuasaan atau simbol dari sesuatu pandangan hidup atau jatidiri tertentu;

· menjadi simbol peringatan dari suatu memori atau romantisme tertentu;

· menjadi tengaran (landmark) suatu kota;

· menjadi bagian dan suatu ruang publik; dan berbagai latarbelakang lain yang terkait dengan konteks sosial budaya masyarakatnya.

Sampai kini, ketika arsitektur modern berkembang dan mendasarkan diri pada rasionalitas, fungsionalitas, efisiensi, dan bersifat ahistorik, monumen tetap saja dibangun dengan berbagai latarbelakang, motivasi, dan maksud pembangunannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar